Putera Komisiner Komisi Yudisial (KY) yang juga mantan Hakim Agung Abbas Said kini justru yang harus berhadapan dengan kasus hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya setelah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus yang diduga terkait SARA oleh penyidik di penyidik Polda Metro Jaya.
Peristiwa ini bermula dari Kicauan bernada SARA dari Farhat yang disampaikanya pada 9 Januari 2013 lalu melalui akun Twitter @farhatabbaslaw. Farhat menyampaikan keberatan atas pernyataan Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta terkait penggunaan pelat nomor polisi khusus bagi pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur DKI. Dia menulis “Ahok sana-sini protes plat pribadi B 2 DKI dijual polisi ke org umum katanya! Dasar Ahok plat aja diributin! Apapun plat nya tetap cina!”.
Cuitan Fathat tersebut hanya dalam hitungan menit tersebar luas yang kemudian menuai beragam reaksi masyarakat di dunia maya. Salah satunya orang yang merasa terganggu dengan ‘celoteh’ bekas murid pengacara gaek OC Kaligis tersebut adalah tokoh senior Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Anton Medan yang kemudian melaporkannya ke Polda Metro Jaya dengan sangkaan Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 4 jo 16 UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Advokat Tidak Kebal Hukum
Terhadap masalah ini, semula Farhat merasa ciutannya tak akan masuk ke ranah hukum, laporan Anton Medan hanya gertakan dan paling-paling selesai di meja mediasi. Tetapi ternyata polisi benar-benar memproses laporan tersebut. Farhat berkali-kali meminta maaf baik ke Ahok maupun Anton Medan tetapi kata maafnya tidak digubris. Sebagai pelapor Anton Medan kekeh proses hukum harus jalan. Sampai akhirnya status Farhat dinaikkan menjadi tersangka. Meski berprofesi sebagai advokat bukan berarti kebal hukum. Dihadapan hukum siapapun dan apapun profesinya semua sama dan sederajat (equel before the law).
Soal Farhat benar atau salah biarlah proses hukum yang nanti akan menguji, karena manakala sudah masuk ranah criminal justice system masih banyak prosedur yang harus dilalui untuk sampai pada vonis hakim. Namun dalam kasus ini ada catatan penting yang patut kita renungkan bersama terutama bagi mereka yang akrab dan bergelut dengan teknologi informasi yang punya ‘dunia’ sendiri yang sering disebut dengan dunia maya.
Semenjak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dengan Undang-Undang ITE (UU ITE) negara memberikan rambu-rambu agar masyarakat pengguna teknologi harus bijak. Komunikasi di dunia maya juga dituntut untuk mengindahkan ‘tata krama’ sebagai mana ketika kita hidup di dunia nyata. Hal ini untuk merespon ledakan teknologi informasi yang mengalami revolusi sedemikian rupa sehingga masyarakat di muka bumi ini bisa terhubung dengan mudah satu sama lain.
Munculnya berbagai macam media sosial seperti facebook, twitter, instagram,twoo dan sejenisnya memudahkan masyarakat global melakukan bentuk komunikasi dengan mudah selain itu dapat digunakan untuk menunjang pekerjaan, ajang curhat,mejeng hingga mengkritisi kebijakan negara. Di sisi lain lalu lintas jutaan manusia di jejaring sosial tersebut juga sangat berpeluang menciptakan benturan, baik disengaja maupun tidak, baik antar individu maupun komunal atau sebaliknya. Jadi seperti pisau bermata dua, ada positif dan negatifnya.
Hukuman lebih Berat
Oleh karena itu menurut UU ITE kita dilarang bahkan diancam pidana bila seeaknya melontarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban umum, asusila maupun yang melanggar undang-undang seperti melakukan pencemaran nama baik terhadap pihak lain.
Ancaman pencemaran nama baik di dunia maya berdasarkan UU ITE hukumannya lebih berat sampai dengan 6 tahun. Padahal bila di dunia nyata ancaman penghinaan sebagaimana diatur KUHP Pasal 310 maksimal hanya 9 bulan. Suka atau tidak norma tersebut hingga hari ini masih ada dan akan tetap diberlakukan, kecuali UU ITE tersebut direvisi/diganti.
Maka itu jalan untuk menghindari jerat UU ITE tiada lain kita sebagai pengguna teknologi informasi harus bijak sebagaimana saat berkomunikasi di dunia nyata. Ada etika, norma maupun tata krama yang mesti kita patuhi manakala berselancar di jejaring sosial. Manakala hal tersebut diabaikan niscaya kita akan berurusan dengan proses hukum yang panjang dan melelahkan.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 4 huruf b angka 1 UU 40 Tahun 2008
Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
“Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan”: 1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan ,ditempelkan, atau disebarluaskan ditempat umum atau tempat yang lainnya yang dapat dilihat atau dibaca orang lain"
sumber : kelompok3742.wordpress.com, kompasiana.com